Koes Plus |
Pada tahun 1960 nama Koes & Bros dirubah menjadi Koes Bersaudara dengan formasi Koestono Koeswoyo (melodi),Koesnomo Koeswoyo ( drum),Koesjono Koeswoyo (rhytem,vocal),Koesroyo Koeswoyo ( bass,vocal). Nama-nama ini kemudian dikenal sebagai Tonny,Nomo,Jon dan Jok: yakni 4 dari 9 putra-putri(yang seorang telah meninggal) pak Koeswoyo pensiunan Departemen Dalam Negeri.
Koes Berssaudara |
Gaya main yang tenang mengasyikkan dari Koeswoyo Junior kian memanas ketika wabah Beatles merasuki mereka. Tonny,Nomo,Jon dan Jok bergoyang-goyang diombang-ambingkan lagu Jhon Lennnon cs. Tanpa terbendung lagi mereka terbawa arus musik “ kontra revolosioner” hingga masuk dalam kamar 15 penjara Glodok selama 3 bulan dan baru melihat dunia bebas lagi 2 hari menjelang meletusnya Gestapu.
Pengalaman pahit itu merupakan kenangan yang paling berharga dalam perjalanan karirnya di dunia musik. Yang disertai juga rasa bangga dihati Koes Bersaudara, karena baru band merekalah yang mendapat kesempatan disebut-sebut dalam pidato kenegaraan Bung Karno. Dan itu terjadi pada 17 Agustus 1965: “…..Jangan seperti kawan-kawanmu Koes Bersaudara. Masih banyak lagu-lagu Indonesia, kenapa musti Elvis-Elvisan?.....”
Oleh-oleh dari bui direkamnya dalam plat ebonite. Keluarlah lagu sendu seperti: Mengapa Hari Telah Gelap, Di dalam Bui, Balada Kamar 15, Jadikanlah Aku Dombamu, Voorman, Untuk Ayah dan Ibu. Dalam periode itu nyata sekali kelebihan mereka. Meski gaya Beatles masih mengganduli Koes Bersaudara tetapi sebagian besar lagu-lagu yang lahir sesudah lepas dari bui itu terpengaruh oleh bule lain: Bee Gees.
Dalam rangkaian ini pula mereka menelurkan lagu-lagu berbahasa Inggris-nya seperti : Tree little Word, The Land of Evegreen dan The Old Man.
Tahun-tahun 1968-1969 merupakan saat-saat surut bagi Koes Bersaudara. Perbedaan pendapat yang diawali pada 1968 antara Tonny Koeswoyo dan adiknya Nomo Koeswoyo kian meruncing. Nomo yang rupanya berjiwa bisnis itu menginginkan agar Koes Bersaudara tidak mengandalkan hidupnya pada musik melulu, harus ada usaha lain. Pendapat ini tidak disetujui, akhirnya di tahun 1969 mereka menempuh jalanya sendiri-sendiri. Nomo menjadi pedagang,
Sedangkan Tonny bersama adik-adiknya yang lain meneruskan karirnya di bidang musik. Lahirlah kemudian nama KOES PLUS dengan Murry ( ex. Band Patas milik Kejaksaan ) sebagai faktor plusnya menggantikan kedudukan Nomo sebagai drumer.
Peralihan arah hidup Nomo kebidang dagang tidak berarti ia melepaskan diri seluruhnya dari musik. Kenangan manis bersama saudara-saudaranya ternyata masih tetap menggayuti hatinya sampai sekarang. Perpaduan antara karir musik dan berbisnis terlaksana juga di tahun 1974 dalam bentuk yang mencengangkan berbagai pihak. Kenangan masa silam bersama Koes Bersaudara disalurkannya dengan membentuk Grup baru yang diberi nama No Koes dan jiwa bisnisnya tersalurkan dengan kedudukannya sebagai” pengusaha ” rekaman yang kini dikenal dengan nama Yukawi. LP pertama No Koes berjudul Sok Tahu benar-benar mengingatkan orang pada Koes Bersaudara pada jaman jayanya dulu. Kerinduan kembalinya Koes Bersaudara masih tetap menjadi cita-cita Nomo. Diakhir Juni 1975 yang lalu di Cisarua, hal ini diungkapkan Nomo kembali:” saya yakin pada suatu saat Koes Bersaudara akan kembali dalam bentuk corporation”.
BERTEMU DAN BERPISAH
Penggantian atribut menjadi KOES PLUS membawa Tonny kejenjang yang lebih dewasa. Dibawah naungan nama KOES PLUS itulah beberapa lagunya menjadi populer,antara lain: Kembali ke Jakarta dan Derita; dimana Tonny mulai menukarkan gitarnya dengan organ. Album ini disusul dengan album ke 2-nya yang mengorbitkan lagu-lagu Kisah Sedih di Hari Minggu, Andaikan Kau Datang. Hidup Yang Sepi dan Rahasia Hatiku. Sayang album ini dirusak oleh lagu-lagu semacam Pencuri Hati, dan Jangan Selalu Marah yang lirik dan melodinya berantakan.
Kecenderungan memasukan unsur Jazz dimulai pada album ke2-nya,semakin jelas di album berikutnya. Dalam album ke-3 yang judul lagunya banyak menggunakan kata ” hati ” itu kita bisa mendengar lagu-lagu: Selamat Berpisah, Isi Hatiku, Hati Yang Suci dan Kasih Yang Suci. Di album inilah Murry memperlihatkan kemantapannya menabuh drum.
Dalam jarak yang tidak terlampau jauh keluar lagi Album ke -4 KOES PLUS yang memunculkan lagu-lagu ciptaan Jon (Jeritan Hati, Termenung Lesu, Bunga Ditepi Jalan). Jok (Why Do You Love Me, Jangan Sedih, dan Kembalilah) serta Murry dengan lagu ciptaanya Bertemu dan Berpisah.
Di album ke-6 KOES PLUS melemparkan kepasaran kurang dari 6 lagu bersyair bahasa Inggris, yang kesemuanya tidak memenuhi sasaran, yang perlu dicatat disini mungkin hanya lagu Sonya yang dibuat Jok untuk orang yang paling dekat dihatinya Sonya Tulaar,istrinya. Namun lagu ini 3 tahun kemudian 1974 menimbulkan kenangan pahit bagi Jok; Sonya tewas akibat kecelakaan mobil.
Pada th 1972 KOES PLUS melakukan sesuatu yang baru dalam musiknya. Eksperimannya dalam menonjolkan beat keroncong dan beat topeng yang disisipkan tetabuhan, cukup menimbulkan rasa girang. Hal itu bisa kita nikmati dari lagu-lagunya Kr. Pertemuan dan Mari-Mari. Sampai dengan album ini Tonny masih menyeret ciri bermanis-manisnya seperti yang terungkap dalam lagu-lagu: Malam Yang Indah, Manis dan Sayang serta Nama Yang Manis. Dan untuk kesekian kalinya KOES PLUS gagal membawakan lagu-lagu bersyair bahasa Inggris. Bukan saja lagunya tidak sedap didengar telinga tapi juga lidah Jawa KOES PLUS tidak pernah klop dengan lagu-lagu berbahasa Inggris.” saya selamanya segan nyanyi lagu-lagu Barat, tapi saya seolah dibayangi terus oleh para penggemar kami yang menginginkan kami menyanyikan lagu tersebut” ucap Tonny 3 tahun yang lalu.
Tahun 1973 ditandai oleh adanya lingkungan hidup baru bagi grup paling beken di Indonesia itu, yang ternyata membawa kecemerlangan materi bagi individu-individu KOES PLUS. Di tahun 1973 itulah mereka pindah kandang dari fabrik PH Dimita ke perusahaan rekaman Remaco. Perpindahan ini membawa pengaruh besar bagi KOES PLUS; betapa tidak jika tadinya mereka terbiasa oleh sistem 2 track-nya Diminta kini mereka beralih menggunakan 4 track-nya Remaco dengan headphone yang lebih gede dan anyar.
Untuk pertama kalinya pada 23 Juli ’73 mereka mulai mencetak lagu-lagunya di Remaco yang hasilnya dikenal sebgai LP VIII. Antara lain berisi lagu-lagu: Kolam Susu dan Nusantara II. Di Remaco inilah dimulai seri Nusantara-nya Koes Plus. Sedangkan lagu Kolam Susu cukup diberi anggukan kepala dari sekian banyak perbauran lagu-lagu KOES PLUS yang bergerak diantara jalur mutu dan komersil.
Bagi KOES PLUS hasil LP ini lebih dari cukup,yang membuat iri rekan-rekan seprofesi lainnya. Betapa tidak begitu selesai mereka merekam LP VIII-nya, mobil Merc 220 model terakhir (waktu itu ) telah nongkrong dalam garage markas KOES PLUS di Cipete, menggantikan kedudukan Fiat 1400-nya.
Melihat Kolam Susu-nya orang tadinya berharap KOES PLUS menjadi pelopor sebagai pembuat lagu-lagu yang berbobot dan komersil. Sebab dengan mendengarkan Kolam Susu KOES PLUS itu, segolongan anak muda mulai menaruh kepercayaan akan omongan yang pernah dilontarkan Paul Simon bahwa: ” musik bukan hanya sekedar teriak-teriak kosong anti perang, tapi musik sama halnya dengan syair merupakan ekpresi pribadi, bukan produk dari suatu golongan manapun monopoli orang-orang industri atau cukong rekaman ”. Namun harapan muluk yang digantungkan kepada Koes Plus itu lenyap disapu salju Christmas Song 1973 yang teramat jelek.
Sejak saat itulah roda mesin KOES PLUS diputar semakin cepat untuk memenuhi target fabrikan. Dalam hitungan waktu yang amat pendek berhamburanlah produk-produk mereka;ada Pop Jawa, Keroncong Pop, Pop Anak-anak dan Pop Melayu ( dimulai akhir Juli1974 ) yang masing-masing ber- volume 2. Belum lagi volume berikutnya: 9,10,11,12 dan yang terakhir vol.13 yang diseling lebih dulu oleh LP lagu-lagu berbahasa Inggris-nya ( Another Song For You ) yang rusak.
Sebandingkah antara hasil yang diperoleh KOES PLUS dengan ”Pengorbanan” tenaga, pikiran dan perasaan yang dipertaruhkannya? Tanpa disadari mereka sebenarnya hanya menjadi sapi perahan para cukong rekaman. Dilihat sepintas lalu angka 5 juta yang disodorkan sebagai pelepas lelah pembikinan sebuah LP memang besar. Tapi coba jumlah ini dibandingkan dengan apa yang berhasil dikeduk si cukong itu. Jika sebuah LP diproduksi sebanyak 100 ribu kaset seharga @ Rp.500,- (harga eceran Rp.700,-) maka dalam hitungan kasar ia menghasilkan Rp. 50 juta. Perbedaanya terlalu menyolok. Ini namanya bukan symbiose tapi parasitis.
Kami kira 15 tahun suah cukup lama bagi KOES PLUS menyibukan diri mengeduk duit. Kini tiba saatnya mereka menyiapkan diri dalam membuat lagu-lagu yang lebih berbobot. Modal ada, kemampuan ada dan pengalaman pun sudah cukup matang. Apa lagi dan kapan lagi. (ditulis ulang sesuai ASLI nya)
Ditulis oleh Toto Sugiharta jam 16.55
Diedit kembali oleh Widyasmoro
Artikel asli diambil dari http://tosuto.blogspot.com/2009/02/kisah-panjang-koesplus_18.htm
Artikel asli diambil dari http://tosuto.blogspot.com/2009/02/kisah-panjang-koesplus_18.htm